A.
Anatomi dan Fisiologi
Sistem kerangka terdiri dari susunan berbagai macam tulang- tulang yang
banyaknya sekitar 206 buah tulang, yang satu sama lainnya berhubungan yang
terdiri dari:
1.
Tulang kepala yang berbentuk tengkorak : 8 buah
2.
Tulang muka / wajah : 14 buah
3.
Tulang Telinga dalam : 6 buah
4.
Tulang lidah : 1 buah
5.
Tulang – tulang yang membentuk kerangka dada : 25
buah
6.
Tulang – tulang yang membentuk tulang belakang dan
gelang panggul : 26 buah
7.
Tulang – tulang anggota yang membentuk lengan (
anggota gerak atas ) : 64 buah
8.
Tulang – tulang yang membentuk kaki ( anggota gerak
bawah ) : 62 buah. ( Syaifuddin, 1997 )
Fungsi
kerangka antara lain:
1.
Menahan seluruh bagian – bagian badan supaya jangan
roboh.
2.
Melindungi alat tubuh yang halus seperti otak,
jantung dan paru.
3.
Tempat melekatnya otot – otot dan untuk pergerakan
tubuh dengan perantaraan otot.
4.
Tempat pembuatan sel – sel darah, terutama sel darah
merah.
5.
Memberikan bentuk pada bangunan tubuh. ( Syaifuddin, 1997 )
Tulang ekstremitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang
tubuh dengan perantaraan gelang panggul, yang terdiri dari Os koksa ( tulang
pangkal paha ), Os femur ( tulang paha ), Os tibia ( tulang kering ), Os fibula
( tulang betis ), Os patela ( tempurung lutut ), Os tarsalia ( tulang pangakal
kaki ), Os metatarsalia ( tulang telapak kaki ), dan Os Falang ( ruas jari kaki
).
Os tibialis dan fibularis merupakan tulang pipa yang terbesar setelah tulang
paha yang membentuk pesendian lutut dengan Os femur. Pada bagian ujungnya
terdapat tonjolan yang disebut Os maleolus lateralis ( mata kaki luar ).
Os tibia bentuknya labih kecil, pada bagian pangkal melekat pada os
fibula, pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan
terdapat taju yang disebut os maleolus medialis.
( Syaifuddin, 1997
)
B.
Gambaran Umum Fraktur
Tibia - Fibula
1.
Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorpsinya. Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan
fibula. ( Smeltzer & Bare, 2001 : 2357 )
2.
Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
a.
Trauma
1)
Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan
ditempat tersebut.
2)
Trauma tidak langsung : Titik tumpu
benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
b.
Fraktur Patologis
Fraktur
disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan
lain-lain.
c.
Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri :
usia lanjut
d.
Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
3.
Patofisiologi
Ketika patah tulang,
terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak.
Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan
sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi tulang
bawah periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya
respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase
vasodilatasi dari plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh
mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini
menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk biasa
menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang
pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang
mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan
protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya
edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung
lama bisa menyebabkan syndrom comportement.
4.
Klasifikasi
Jenis
Fraktur :
a.
Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah
tulang dan biasanya mengalami pergeseran dari posisi normal.
b.
Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi
pada sebagian dari garis tengah tulang.
c.
Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya
kulit, jadi fragmen frakturnya tidak menembus jaringan kulit.
d.
Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai kerusakan kulit pada
tempat fraktur (Fragmen frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari luar
bisa menimbulkan infeksi pada tempat fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)
1)
Grade I : Luka bersih, panjang
2)
Grade II : Luka lebih besar / luas
tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
3)
Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif, merupakan yang paling berat.
(Smeltzer & Bare and
Bare, 2002 : 2357 – 2358)
Jenis khusus fraktur :
a.
Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,
sedang sisi lainnya membengkok.
b.
Tranversal : Fraktur sepanjang
garis tengah tulang.
c.
Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
d.
Spiral : Fraktur memuntir seputar
batang tulang
e.
Kominutif : Fraktur dengan tulang
pecah menjadi beberapa fragmen
f.
Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
g.
Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi
pada tulang belakang)
h.
Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang
berpenyakit (kista tulang, penyakit pegel, tumor)
i.
Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau
tendon pada perlekatannya
j.
Epifiseal : Fraktur melalui epifisis
k.
Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya.
5.
Manifestasi Klinis
a.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b.
Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur
lengan dan eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
obat.
c.
Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas
dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama
lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
d.
Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan
tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar
fragmen satu dengan lainnya.
e.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
6.
Proses Penyembuhan Tulang
a.
Stadium Pembentukan Hematoma
Hematoma
terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak, hematoma
dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24 jam.
b.
Stadium Proliferasi
Sel-sel
berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel
ini menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang.
Proliferasi juga terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua
kecelakaan terjadi.
c.
Stadium Pembentukan Kallus
Osteoblast
membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa kalus
terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 –
10 hari setelah kecelakaan terjadi.
d.
Stadium Konsolidasi
Kallus
mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara
bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah
kecelakaan.
e.
Stadium Remodelling
Lapisan
bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur. Tulang
yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan. (Rasjad,
1998 : 399 – 401)
7.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur
trauma
b.
Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan
fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan
vaskuler dicurigai.
d.
Hitung daerah lengkap : HT mungkin
meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun (
pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
e.
Kreatinin : Trauma otot meningkatkan
beban kreatinin untuk klien ginjal.
(Doenges,
2000 : 762)
8.
Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar dalam menangani
fraktur, yaitu :
a.
Rekognisi
Rekognisi
dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui
riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan
deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b.
Reduksi
Reduksi
adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.
Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat
atau ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat
diberi narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.
c.
Retensi
Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
d.
Rehabilitasi
Merupakan
proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan ROM
aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan
isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah.
( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 – 2361 )
Kebanyakan
fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal
dengan gips sepanjang tungkai jalan atau patellar
– tendon – bearing. Reduski harus relative akurat dalam hal angulasi dan
rotasinya. Ada saatnya di mana sangat sulit mempertahankan reduksi, sehingga
perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan gips (
mis. Teknik pin dalam gips ) atau fiksator eksterna yang digunakan. Pembebanan
berat badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 samapi 10 hari. Aktivitas
akan mengurangi edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi
gips tungkai pendek atau brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan
gerakan lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
Fraktur
terbuka atau komunitif dapat ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna
dengan batang, plat atau nail, atau fiksasi eksterna. Latihan kaki dan lutut
harus didorong dalam batas alat imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai
sesuai resep, biasanya 4 sampai 6 minggu.
( Smeltzer & Bare & Bare, 2001 :
2386 )
C.
Gambaran Umum ORIF (
Open Reduduction Intra Fixation )
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF
untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Open
Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka dengan Fiksasi
Internal. ORIF akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk
memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi
bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan.
|
E.
Gambaran Umum Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Post ORIF ( Open
Reduction Intra Fixation )
1.
Pengkajian
Menurut Doenges, Marilynn. 2000 : 761 adalah data dasar
pengkajian klien adalah sebagai berikut :
a.
Aktivitas/Istirahat
Tanda : Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder,
dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b.
Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon
terhadap nyeri atau ansietas) dan hipotensi. Takikardia (respon stress,
hipovolemia). Penurunan atau tak ada nadi pada bagian distal yang cedera,
pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan
atau massa hematoma pada sisi cedera.
c.
Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesis).
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan,
rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi
(mungkin berhubungan dengan nyeri atau ansietas atau trauma lain).
d.
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot setelah imobilisasi).
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot setelah imobilisasi).
e.
Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
f.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera. Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan atau perawatan rumah.
Gejala : Lingkungan cedera. Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan atau perawatan rumah.
2.
Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges, Marilynn dan Lynda juall, Carpenito
diagnosa keperawatan yang dapat di tegakkan pada klien dengan fraktur meliputi
:
a.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan
integritas tulang (fraktur).
b.
Nyeri akut
berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada
jaringan lunak.
c.
Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer, berhubungan
dengan penurunan aliran darah ; cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus.
d.
Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
perubahan aliran darah atau emboli lemak, perubahan membran alveolar atau
kapiler.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktik (imobilisasi tungkai).
f.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat,
sekrup.
g.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer; kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan.
h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan) berhubungan dengan tidak mengenal sumber
informasi.
3.
Perencanaan Keperawatan
a.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan
integritas tulang (fraktur).
Kriteria
hasil :
1)
Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur
2)
Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkat stabilisasi pada
sisi fraktur.
Intervensi
:
1)
Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi.
2)
Letakan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada
tempat tidur ortopedik.
3)
Sokong fraktur dengan bantalan atau gulungan selimut.
b.
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak.
Kriteria
hasil :
1)
Menyatakan nyeri hilang
2)
Menunjukkan tindakan santai, maupun beradaptasi dalam
aktivitas hidup
Intervensi
:
1)
Pertahankan imobilisasi
2)
Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena
3)
Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan,
pijatan punggung, perubahan posisi.
4)
Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba
atau dalam, lokasi progesif atau buruk tidak hilang dengan analgetik.
5)
Lakukan kompres dingin atau es 24 – 48 jam pertama dan
sesuai keperluan.
6)
Berikan obat sesuai indikasi.
c.
Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan
dengan penurunan aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus.
Kriteria
hasil :
Mempertahankan
perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit, hangat atau kering,
sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil dan haluaran urine adekuat
untuk situasi individu.
Intervensi
:
1)
Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit
2)
Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada
fraktur.
3)
Kaji jaringan sekitar gips untuk titik yang kasar atau
tekanan. Selidiki keluhan “rasa terbakar“ dibawah gips.
4)
Selidiki tanda iskemia
5)
Awasi tanda vital
d.
Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
perubahan aliran darah atau emboli lemak, perubahan membran alveolar atau
kapiler.
Kriteria
hasil :
Mempertahankan
fungsi pernafasan adekuat, dibuktikan oleh tidak adanya sianosis.
Intervensi
:
1)
Awasi frekuensi pernafasan
2)
Instruksikan dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk.
Reposisi dengan sering.
3)
Berikan tambahan O2 bila diindikasikan.
4)
Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau, latergi, stupor.
e.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
Kriteria
hasil :
1)
Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin.
2)
Mempertahankan posisi fungsional.
3)
Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit dan
mengkompensasi bagian tubuh.
Intervensi
:
1)
Kaji derajat imobilitas
2)
Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
3)
Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai
yang tak sakit.
4)
Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan.
5)
Auskultasi bising usus.
f.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat,
sekrup.
Kriteria
hasil :
1)
Menyatakan ketidaknyaman hilang
2)
Menunjukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan
kulit atau memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.
3)
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu atau penyembuhan lesi
terjadi.
Intervensi
:
1)
Kaji kulit untuk luka terbuka.
2)
Masase kulit dan penonjolan tulang.
3)
Bersihkan kulit dengan menggunakan sabun dan air.
4)
Ubah posisi dengan sering.
g.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer; kerusakan kulit; trauma jaringan, terpajan pada lingkungan.
Kriteria
hasil :
Mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi
:
1)
Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
2)
Berikan perawatan steril sesuai protokol dan latihan mencuci
tangan.
3)
Instruksikan pasien untuk tidak menyebutkan sisi insersi.
4)
Awasi pemeriksaan laboratorium.
5)
Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotika.
h.
Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar tentang kondisi,
prognosis dan kebutuhan pengobatan ) berhubungan dengan tidak mengenal sumber
informasi.
Kriteria
hasil :
1)
Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
2)
Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan
menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi
:
1)
Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
2)
Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi
dengan terapi fisik bila diindikasikan.
3)
Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi
diatas dan dibawah fraktur.
4.
Pendokumentasian
Pelaksanaan
tindakan keperawatan diikuti dengan dokumentasi yang lengkap dan akurat
terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan. Jenis catatan keperawatan
yang digunakan untuk mendokumentasikan tindakan keperawatan adalah catatan
perkembangan SOAPIE.
S
|
:
|
Data subjektif.
Perkembangan didasarkan pada apa yang dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan
klien.
|
O
|
:
|
Data objektif.
Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat.
|
A
|
:
|
Analisis. Kedua
jenis data tersebut, baik subjektif maupun objektif, dinilai dan dianalisis,
apakah berkembang ke arah perbaikan atau kemunduran. Hasil analisis dapat
menguraikan sampai di mana masalah yang ada dapat teratasi/ adakah
perkembangan masalah baru yang menimbulkan diagnosa keperawatan baru.
|
P
|
:
|
Rencana penanganan klien, dalam hal ini didasarkan pada hasil
analisis di atas yang berisi melanjutkan rencana sebelumnya apabila keadaan
atau masalah belum teratasi dan membuat rencana baru bila rencana awal tidak
efektif.
|
I
|
:
|
Implementasi.
Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana.
|
E
|
:
|
Evaluasi. Berisi
penilaian tentang sejauh mana rencana tindakan dan evaluasi telah dilaksanakan,
dan sejauh mana masalah klien teratasi. (Hidayat, 2001)
|
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan
: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan,
Edisi III. Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar